Kisah di tanah Moria adalah kisah yang lain, kisah seusai Nuh. Tentang Abraham yang kita yakini sebagai bapa segala bangsa. Tentang Abraham, aku tidak pernah sudah berpikir. Mengapa ia nyaris menjadi orang paling bodoh di dunia sepanjang sejarah kehidupan ummat manusia. Jika sampai belati di tangannya melahirkan darah di tubuh Ishak anaknya sendiri, aku adalah orang pertama yang menahbiskannya sebagai ‘nabi yang tidak punya hati’, ‘Bapa segala perang saudara’.
“Ambilah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu” pinta Sang Kata. Lantas, keesokan harinya, tanpa kata, dalam takzim yang mendalam Abraham menggiring Ishak bagai domba, menuju tempat persembahan.
Di sana, pada batu-batu Abraham melintang-palang-susun kayu-kayu. Ishak mungkin sudah tahu. Ia pun mungkin turut membantu. Dua orang manusia itu melakukan itu tanpa ragu tanpa takut dan ciut. Setelah itu, sebelum darah nyaris menyembur, keduanya mungkin larut dalam peran masing-masing. Abraham mengasah belatinya, kian lama kian tajam. Dan di sampingnya, Ishak seperti domba bodoh menanggalkan bajunya, menyisahkan sepotong kain melingkari pinggangnya.
Semua persiapan sudah. Ishak sudah melintang di atas palang-palang kayu, serupa kayu yang kaku. Ia memanjangkan lehernya, entah menyamping atau menengadah. Abraham, ‘ayah yang tidak punya hati’ itu mendekat. Belatinya melepas sinar silau, membutakan kesadaran kemanusiaan keduanya. Jarak antara belati dan leher adalah totalitas penyerahan diri, sebuah jarak sempurna yang tidak pernah dapat diukur oleh manusia manapun.
Tiba-tiba, “Jangan bunuh anak itu dan jangan kauapa-apakan dia, sebab telah Kuketahui sekarang, bahwa engkau takut akan Allah, dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal kepada-Ku” kata Sang Kata. Sampai pada titik ini aku dapat membayangkan serupa apa reaksi Abraham dan juga Ishak. Keduanya bukan hanya terperanjat, tetapi juga menyesal. Mengapa Sang Kata menolak persembahan terbesar sepanjang sejarah kehidupan manusia?
Pertanyaan lebih lanjut adalah apakah Abraham sadar sungguh jika ia sedang diuji? Dan atau, apakah Ishak ketika itu menyadari dirinya sebagai ‘korban’ atau ‘doa’. ‘Tumbal’ atau ‘ujud’. Keduanya sama-sama bodoh. Kata Sang Kata begitu kuat menyengat ke dalam rasa, meruntuhkan semua kesadaran kemanusiaan mereka, hingga menyisahkan keduanya sebagai serupa doa.
Kisah di tanah Moria adalah kisah tentang doa, totalitas penyerahan diri yang tulus sang manusia kepada empunya semua, tuannya segala. Hakikat dari doa adalah pelepasan diri. Manusia harus mengorbankan diri sendiri, kesenangan, kebahagiaan duniawi, baik fisik maupun mental kemudian menyatukan diri dengan dan dalam Allah. Doa sebagaimana yang ditunjukkan Abraham adalah sebuah ‘kebodohan’ yang suci.
Walaupun selanjutnya, darah Ishak tidak ditumpahkan, tetapi niat yang tulus sudah cukup bagi Tuhan untuk memaklumi kebersediaan sang manusia dalam panjatkan doa. Sang Kata, tidak meminta apa pun dari manusia selain niat yang tulus, penyerahan diri yang utuh-total yang tercipta dalam perjumpaan yang sempurna dalam doa.
Abaraham sudah meletakkan itu sebagai yang baik dan benar di hadapan Sang Kata. Abaraham pun sudah melakukan itu sebagai yang baik dan benar di hadapan manusia, yang selanjutnya harus diteladani oleh segenap manusia sepanjang sejarah kehidupan. Kisah di tanah Moria tidak menitipkan kepada kita tentang darah dan pengorbanan yang buta dan apalagi bodoh, walaupun tampak dalam kacamata kita Abraham nyaris menjadi manusia paling bodoh. Apa yang dikisahkan di tanah Moria mengajak segenap kehidupan untuk memaknai sungguh apa artinya doa dan persembahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar